Kembalilah engkau kepada Tuhanmu dalam keadaan ridha dan diridhai.
Masuklah engkau ke dalam barisan hamba-hamba-Ku.
Dan silahkan engkau masuk ke dalam surga-Ku.”
(QS. Al Fajr [89] : 27-30)
Tepat setelah bel tanda jam pelajaran usai berbunyi bersamaan dengan kumandang adzan ashar aku segera bergegas meninggalkan kelas. Sore ini aku ada janji untuk menonton film box office bersama pacarku Dellia yang bersekolah di sekolah berbeda. Kami berjanji untuk bertemu langsung di salah satu bioskop yang berada di sebuah mall ternama di kota tempat kami tinggal. Jarak mall itu dengan sekolah Dellia tidak terlalu jauh, namun sialnya butuh waktu kurang lebih satu jam untuk sampai di mall tersebut dari sekolahku ini. Terkadang aku berpikir, kenapa aku tidak sekolah di pusat kota saja? Ini gara-gara kedua orang tuaku yang memaksa agar aku masuk sekolah yang katanya memiliki perpaduan antara IPTEK dan IMTAQ terbaik di Kabupaten. Memang sih sekolah ini tidak jelek. Lingkungannya luas, bersih, dan rapih. Fasilitasnya juga sudah memenuhi standar, tapi tempatnya yang cukup terpencil dari pusat hiburan kota menjadi masalah tersendiri bagi remaja sepertiku.
“Angga!” sebuah suara yang sangat aku kenal menyapaku dari kejauhan.
“Damn!” umpatku dalam hati. Aku pura-pura tak mendengar dan melanjutkan langkahku. Namun entah bagaimana sosok pemilik suara itu bisa mendahului langkahku dan kini dia berdiri tepat di hadapanku.
“Assalammu’alaikum,” sapanya ramah dengan senyum lebar terukir di wajah teduhnya. Dia mengulurkan tangannya sebagai tanda untuk berjabat tangan.
“Eh, Rabbani. Wa’alaikumsalam,” timpalku sambil menjabat tangannya dengan setengah hati ditambah seukir senyum tak ikhlas.
“Kita shalat berjama’ah yuk,” ajaknya masih dengan senyum ramah.
Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. “Em, gimana ya. Aku lagi buru-buru nih, mau ada janji. Shalatnya di masjid yang ada di deket tempat janjian aja deh, nanti bareng sama temenku yang lain,” ucapku mencari alasan.
Ekspresi wajah Rabbani sedikit berubah. Aku yakin dia tahu aku sedang berbohong tapi senyum teduh di wajahnya tidak pernah lepas.
“Oh begitu ya. Yasudah, hati-hati di jalan ya. Saya pamit ke masjid dulu, Assalammu’alaikum,” ucapnya kemudian.
“Wa’alaikumsalam!” timpalku terburu-buru, lalu segera bergegas menuju tempat parkir yang berada di samping sekolah. Sebenarnya aku merasa sedikit bersalah pada Rabbani, tapi biarlah. Aku dengan anak-anak anggota Rohis sejenis Rabbani memang berbeda dunia. Tak salah sih jika mereka ingin lebih dekat dengan Tuhan-Nya, tapi aku masih ingin menikmati masa mudaku. “Bandel sedikit tak masalah, toh umurku masih panjang,” bisikku dalam hati.
Setibanya di tempat parkir yang penuh sesak itu, aku segera berjalan menghampiri motor sport berwarna merah yang terparkir di sebelah pojok kanan tempat parkir.
“What the…” umpatku saat mesin motorku tidak mau hidup. Aku mencobanya berkali-kali, bahkan mencoba menyalakan mesinnya dengan cara manual namun tetap nihil.
Smartphone milikku bergetar, menandakan ada pesan singkat yang masuk. Aku pun merogoh saku celanaku dan mengambil Smartphone milikku untuk melihat pengirim pesan. “Damn!”umpatku gusar saat melihat nama pacarku muncul di layar Smartphone-ku, ditambah lagi isi pesan yang menyatakan kalau dia sudah pergi lebih awal.
Aku pun segera berlari menuju gerbang sekolah untuk mencari angkutan umum. Namun aku sangat terkejut ketika melihat jalanan di depan sekolahku sepi kendaraan.
“Pak, kok gak ada angkot?” Tanyaku pada seorang penjual bakso yang sedang mangkal di dekat gerbang sekolahku.
“Oh itu Jang, angkot jurusan sini lagi pada mogok. Itu lagi pada demo BBM,” sahut bapak itu sambil mengipasi tubuhnya dengan topi usang.
“Itu sampe jam berapa, Pak?” tanyaku gusar.
“Demonya baru mulai, paling sampe malem.”
Aku menepuk keningku lalu berjongkok di samping penjual bakso itu dengan putus asa. Matilah aku! Janji untuk menonton film ini sudah kami buat semenjak satu minggu yang lalu, dan kalau sampai gagal Dellia akan marah besar.
Sebuah tepukkan lembut di pundak mengembalikan kesadaranku dari khayalan kemarahan Dellia.
“Lho, kenapa kamu jongkok di sini? Janjinya gak jadi?” Tanya sebuah suara yang langsung aku kenali sebagai milik Rabbani.
Aku menutup wajahku karena malu. “Motorku mesinnya mati, Rabbani.”
“Janjian sama temennya di mana, Ga? Biar saya antar,” tawaran Rabbani terasa bagaikan angin segar bagiku. Tapi aku tahan dulu rasa gembiraku, karena belum tentu dia mau mengantarkanku jika aku memberi tahunya bahwa tempat itu ada di pusat kota.
“Di mall xxx,” timpalku dengan harap-harap cemas.
Rabbani tersenyum, lalu kemudian mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri. “Ambil helm kamu, Ga. Saya antar kamu kesana.”
“Serius?” Tanyaku tak percaya.
Rabbani mengangguk sambil tersenyum.
“Makasih ya!” ucapku sambil menepuk pundaknya lalu bergegas mengambil helm milikku yang masih tergantung di motorku.
Motor matic itu menyusuri jalanan yang terbilang sepi dengan kecepatan sedang. Tak ada percakapan yang terjadi di antara kami berdua selama setengah perjalanan, hingga akhirnya aku memulai pembicaraan.
“Hari ini makasih ya, aku bener-bener kebantu,” ucapku dengan nada enteng, namun sebenarnya aku kikuk setengah mati.
“Sama-sama. Kita kan teman, Ga.” Rabbani menanggapi dengan kalimat ramah yang singkat namun entah mengapa membuatku semakin merasa kerdil. Orang yang aku hindari sapaan bersahabatnya, justru menjadi penolong di saat aku membutuhkan.
Suasana kembali hening. Rabbani focus mengendarai motornya, sedangkan pikiranku berkenalana jauh entah kemana. Perjalanan itu terasa seperti imaji dalam pikiranku, hingga tiba-tiba Rabbani menghentikan laju sepeda motornya.
“Kenapa?” Tanyaku refleks.
“Macet Ga,” timpal Rabbani singkat. Aku pun mengedarkan pandanganku, dan baru aku sadari bahwa kami sedang berada di tengah-tengah kemacetan. Tapi bagaimana bisa aku tidak menyadarinya?
Tiba-tiba aku teringat pada Dellia. Segera aku rogoh saku celanaku untuk mengambil Smartphone milikku. Jantungku rasanya berhenti berdetak saat melihat belasan sms dan misscall dari Dellia. “Dia bakalan ngamuk!” gumamku gusar sambil sibuk membalas sms Dellia dan mengatakan bahwa aku terjebak macet. Ku arahkan pandanganku kedepan untuk melihat seberapa parahnya kemacetan yang terjadi, namun hal itu semakin membuatku gusar. Sejauh mata memandang yang bisa aku lihat adalah antrian kendaraan yang mulai tak sabaran dan memencet klakson kendaraan mereka dengan arogan. Keadaan semakin bertambah runyam dengan para penjual asongan yang turun kejalan. Aku sudah gelisah, bukan hanya karena Dellia namun karena perutku juga mulai lapar dan tenggorokanku haus. Sedangkan Rabbani tetap tenang, dan samar-samar aku mendengarnya menggumamkan sesuatu dengan nada lembut yang teratur.
“Mau minum?” tawarku saat seorang pedagang asongan menghampiri kami.
“Buat kamu saja, Ga.”
“Lagi puasa?”
“InsyaAllah.”
Aku pun tak memaksanya untuk menerima tawaranku meski dengan embel-embel untuk buka puasa. Setelah membayar untuk sebotol air mineral, aku pun segera meneguknya hingga menghabiskan setengah isinya.
Dua puluh menit berlalu, kemacetan pun mulai terurai dan laju kendaraan mulai lancar. Rabbani pun memacu sepeda motornya sedikit lebih cepat dari kecepatan awal, sepertinya dia bisa merasakan kegusaranku. Namun kecepatan sepeda motornya kembali melambat ketika kami melewati sebuah sepeda motor ringsek yang rupaya menjadi penyebab kemacetan panjang ini. Ditengah-tengah jalan masih terlihat jelas genangan darah yang ditutupi Koran, dan di tepian jalan beberapa orang polisi masih berjaga.
“Inna lillahi wa inna ilayhi raji’un…” gumam Rabbani sebelum kembali mempercepat laju motornya.
“Kasihan ya, mungkin dia gak nyangka bakal meninggal hari ini,” ucapku tanpa sadar, namun entah kenapa justru aku merasakan sesuatu dari ucapanku itu. Seakan itu aku ucapkan pada diriku sendiri, rasanya seperti sindiran tajam.
Rabbani mengangguk. “Usia memang tidak ada yang tahu, Ga.” Nada suaranya terdengar tak seperti biasanya. Tetap lembut, namun ada sesuatu yang lain. “Dunia ini sangat melenakan. Hingga kadang kita lupa, bahwa kehidupan ini hanya sementara dan kematian itu adalah hal yang pasti adanya. Seberapa keras pun usaha kita lari dari kematian, pada akhirnya kematian akan menjemput kita pada waktunya.”
Aku menelan ludah. Merasa sesak mendengar ucapan Rabbani yang rasanya menggambarkan diriku sendiri.
“Tapi yang terpenting Ga, terkadang kita lupa untuk bertanya pada diri sendiri, ke manakah kita akan pergi setelah kematian itu?”
Aku tertegun. Pertanyaan Rabbani menjadi tohokan tidak terelakkan. Hatiku terasa semakin tak karuan, bahkan aku hampir saja lupa dengan janji menonton bersama Dellia. Saat itu yang aku rasakan hanya ketakutan yang menajalar.
Aku menutup mataku erat-erat. Mencoba menepiskan perasaan aneh yang tumbuh semakit kuat ini. Aku berusaha menghibur diri, “Aku bakal lupa setelah ketemu Dellia dan nonton film,” batinku. Namun perasaan itu tak berkurang, seakan rasa takut yang sedang aku rasakan tidak akan hilang begitu saja. Hal itu membuatku berjibaku dengan diriku sendiri, antara sisi yang mengakui semua ucapan Rabbani dan sisi yang mencoba menolaknya masuk kedalam hati dan pikiranku lebih jauh dari ini.
Kesadaranku kembali utuh ketika aku mendengar Rabbani bertakbir dan kami berdua terpelanting dari motor yang dikendarainya. Aku tak sepenuhnya menyadari apa yang sedang menimpa kami, semuanya terjadi begitu cepat.
Aku jatuh berguling dari aspal jalan ke tepian jalan yang dipenuhi krikil kecil, lalu tercebur kedalam parit kecil. Dengan susah payah aku merayap keluar dari parit itu, dan mulai merasakan rasa perih di kakiku, sepertinya lututku terkilir. Namun saat menyadari bahwa aku tak sendiri, aku segera mencari keberadaan Rabbani.
“Rabbani!” teriakku panik saat melihat tubuh Rabbani tergeletak di pinggir jalan. “Tolong!” teriakku mencari pertolongan, namun jalanan yang sepi sama sekali membuat hal itu jadi sia-sia.
Aku berusaha untuk merayap mendekati Rabbani yang tidak sadarkan diri. Tidak aku perdulikan lagi rasa perih bercampur ngilu di kakiku yang semakin menjadi.
“Hey bangun! Rabbani bangun!” Aku menepuk pipinya yang berlumuran darah.
Tak lama kemudian kelopak mata Rabbani terbuka. Sorot matanya mulai pudar, namun senyuman ikhlas tidak hilang dari wajahnya. Seketika perasaan dingin menjalari seluruh tubuhku. Waktu seakan berhenti berputar dan kesadaranku memasuki dimensi kosong saat ku lihat bibir tipisnya menggumamkan sesuatu dengan penuh kebahagiaan.
“Ash Hadu An La Ilaha Illallah Wa Ashadu An Na Muhammadan Abduhu Wa Rasuluh…”
Dan sepasang iris mata berwarna coklat itu pun menghilang dibalik kelopak mata yang tertutup bersamaan dengan seulas senyum penuh kedamaian yang menghiasi wajah teduhnya.
Sheryl Risyandi Rizky Utamie
0 komentar