Kebetulan aku sedang berada di perjalanan menuju ke suatu tempat. Aku berjalan menyusuri rumah-rumah di samping kanan-kiriku.
Tiba-tiba rindu. Rindu pada keluarga.
Dahulu aku selalu berpikir, aku senang sekali dengan rumah di kala hujan. Kau tau mengapa? Karena seluruh anggota keluarga akan ada di rumah. Berteduh agar tidak kehujanan.
Disanalah kehangatan, dimana semua berkumpul dan kami akan saling bercakap. Menyeduh apapun yang mampu menghangatkan.
Begitupun dengan guntur dan kilat. Meskipun aku selalu takut, tapi ketika bersama semua akan menguatkan.
![]() |
Hujan | ilustrasi: www.inspirasi.co |
Ini hujan dan kehangatan.
Hujan hadir kadang sering tetiba, tanpa isyarat. Tapi biasanya iaselalu ancang-ancang lewat mendungnya agar kita bersiap dengan kedatangannya.
Dewasa ini, hujan lebih banyak dikutuki daripada disyukuri.
Ada apa gerangan? Padahal sejatinya dahulu, aku selalu merindu kehadirannya. Waktu terbaik aku bersama teman-temanku untuk bermain.
Bahagia. Hanya itu yang kurasa ketika itu. Tak mau tahu tentang kemarahan mamah. Tak ingin tahu kalau nanti aku bisa sakit. Aku hanya bahagia bisa bermain bersama hujan.
Tapi hari ini, terkena hujan pun tak ingin. Hujan selalu identik dengan kata sakit. Hujan selalu identik dengan cucian yang tak kering. Begitulah kau hujan di mata aku dan banyak orang saat ini.
Ada apa gerangan? Apa karena aku telah banyak tahu? Apa karena aku terlalu khawatir?
Ini hujan dan kebahagiaan yang (sempat) hilang.
Hujan. Ia turun dengan izin-Nya. Sebagai suatu nikmat yang takkan mungkin siapapunbisa lakukan ini sesempurna-Nya.
Dan jika kita tilik surat cinta-Nya. Dia sering mengulang-ulang hujan di beberapa ayat dan surat. Begitulah Ia mengajarkan agar kita paham. Namun ternyata meskipun begitu, tetap saja kami tak paham.
Wajar jika akhirnya hujan menjadi banjir bukan subur. Apa yang telah kau perbuat wahai manusia? Mari kita tanyakan pada diri.
Pertama, bukan syukur melainkan kufur. Barangkali ini menjadi hal pertama yang harus kita renungi. Yang padahal kalau kita mau berpikir, darinyalah tumbuhan hidup. Sungai mengalir. Mata air gunung terpenuh. Semua, bahkan lebih banyak lagi hal yang darinyalah bumi ini hidup.
Kedua, belum lagi kita yang semena-mena terhadap amanah bumi ini. Bahwa hujan sejatinya untuk menghidupkan. Namun kini ia mematikan. Salah siapa? Siapa tebang pohon? Siapa penuhkan sungai dengan sampah? Membuatnya yang turun tak punya tempat untuk menetap.
Ini hujan dan pelajaran.
Hujan adalah anugerah. Ini yang baru kutahu lagi akhir-akhir ini. Bahwa hujan adalah waktu maqbulnya doa.
Betapa baik Zat Yang Maha Menghidupkan. Hujan untuk kehidupan manusia. Dan bersamanya adalah sebaik-baiknya waktu. Andai kita mau tahu.
Bayangkan jika semua penduduk bersyukur atas turunnya hujan ini setiap saat. Maka akan Ia tembahkan nikmat ini.
Karena disaat yang lain sulit untuk mendapatkan nikmat ini. Nageri ini begitu sering dilimpahkan.
Ini hujan dan keistimewaannya.
Hujan tak pernah sendiri. Ia dituntun oleh mendung dan diikuti oleh pelangi.
Maka berbahagialah saat hujan. Karena setelah itu kau akan diperlihatkan salah satu lukisan terindah-Nya di langit sana. Pelangi yang seakan membawa senyum dan kebahagiaan setelah kehadiran hujan.
Begitulah Allah tunjukkan kuasa-Nya. Begitulah Allah menghibur kita.
Maka apa yang patut tak kita syukuri dari hadirnya hujan?
Ini hujan dan kejutannya.
Sempat sedikit terlintas di pikiranku ketika hujan turun tadi. Air yang turun berliter-liter, tapi Ia turunkan perlahan. Dengan cinta-Nya.
Mengapa tak langsung ditunkan satu bah dari langit. Betapa Maha Sempurnanya Ia yang menurunkannya setetes demi setetes.
Tersenyumlah. Karena hujan sedang menyampikan cinta.
Ini hujan dan cinta-Nya.
Begitulah islam mengajarkan kami menuju kemuliaan. Bahkan dari hujan sekalipun. Andai kita mau lebih dalam berpikir dan mencari tahu, wahai umat terbaik. Ulil Albab.
–Begitupun dengan malam ini. Hujan menemaniku lewat suara merdunya. Mungkin setelah ini aku akan tidur lelap. Berharap esok masih bisa kutemui. Alhamdulillah.
Bandung, 06 Mei 2015
Annisa Maryam
0 komentar