Beberapa tujuan Al-Quran diturunkan adalah sebagai petunjuk hidup, pembeda antara yang haq dan yang bathil, penyembuh, pemberi ketentraman dan keberkahan.
Seorang muslim dituntut untuk terus berinteraksi dengan Al-Quran, baik dengan cara membacanya, mendengarkannya, mempelajarinya, mentadaburinya, mengamalkannya sampai mengajarkannya.
Salahsatu bentuk interaksi dengan Al-Quran yang dengan mudah kita bisa lakukan adalah dengan mendengarkannya. Baik dengan cara kita memutar kaset Quran atau bisa juga dengan cara kita meminta langsung dibacakan Al-Quran kepada seseorang, sebagaimana hal ini pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alahi wasallam.
Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu’anhu, beliau berkata:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku, “Bacakanlah kepadaku Al-Quran.” Ibnu Mas’ud berkata: Aku katakan, “Wahai Rasulullah! Apakah saya akan membacakannya kepadamu sementara ia diturunkan kepadamu?”. Beliau menjawab, “Aku senang mendengarnya dari orang selain diriku.” Maka aku pun membacakan surat An-Nisaa’, ketika sampai pada ayat (yang artinya), “Bagaimanakah jika (pada hari kiamat nanti) Kami datangkan dari setiap umat seorang saksi, dan Kami datangkan engkau sebagai saksi atas mereka.” (QS. an-Nisaa’: 41). Aku angkat kepalaku, atau ada seseorang dari samping yang memegangku sehingga aku pun mengangkat kepalaku, ternyata aku melihat air mata beliau mengalir (HR. Bukhari No. 4582 dan Muslim No.800)
Dari hadits ini menunjukan kepada kita bahwa Rasulullah senang didengarkan bacaan Al-Quran oleh orang lain. Begitupun kita, sepantasnya kitapun senang mendengarkan bacaan Al-Quran. Karena boleh jadi kita lebih bisa mentadaburi dan lebih bisa menghayati bacaan Al-Quran ketika kita mendengar bacaan Quran dari sahabat kita, hal ini mungkin dikarenakan bacaannya lebih indah dari pada kita atau bisa jadi ketika kita mendengarkan, maka fikiran kita lebih fokus pada makna yang disampaikan pada ayat tersebut tanpa harus fokus memperhatikan huruf demi huruf sebagaimana yang kita lakukan ketika kita membacanya. Sehingga dengan hal ini dapat pula membuat kita menangis sebagaimana yang Rasulullah lakukan pada hadits diatas.
Kaidah penting yang ingin penulis tekankan pada kesempatan kali ini adalah bagaimana adab kita ketika mendengar Al-Quran? Apa yang harus kita lakukan ketika kita mendengar bacaan Al-Quran dilantunkan?
Bagaimana sikap kita ketika disuatu acara dilantunkan bacaan Al-Quran? Atau mungkin ketika kita lewat di depan sebuah toko kaset Quran yang disana di putar murottal Quran, apa yang harus kita lakukan?
Pertanyaan-pertanyaan ini juga pernah ditanyakan kepada Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah. Mari kita simak bagaimana penjelasan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam hal ini
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : Apabila dalam suatu majelis (perkumpulan) diperdengarkan kaset murattal (bacaan Al-Quran) tetapi orang-orang yang hadir dalam perkumpulan tersebut kebanyakan mengobrol dan tidak menyimak (mendengarkan) bacaan Al-Quran yang keluar dari kaset tersebut. Siapakah dalam hal ini yang berdosa? Yang mengobrol atau yang memasang kaset itu?
Jawaban Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah
Apabila majelis tersebut memang majelis zikir dan ilmu yang di dalamnya ada tilawah Al-Quran maka siapaun yang hadir dalam majelis tersebut wajib diam dan menyimak bacaan tersebut. Dan berdosa bagi siapa saja yang sengaja mengobrol dan tidak menyimak bacaan tersebut.
Dalilnya adalah surah Al-A’raf ayat 204.
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَAdapun jika majelis tersebut bukan majelis ilmu dan zikir serta bukan majelis tilawah Al-Quran akan tetapi hanya kumpul-kumpul biasa untuk mengobrol, diskusi, bekerja, belajar atau pekerjaan lain-lain, maka dalam suasana seperti ini tidak boleh kita mengeraskan bacaan Al-Quran baik secara langsung ataupun lewat pengeras suara (kaset), sebab hal ini berati memaksa orang lain untuk ikut mendengarkan Al-Quran, padahal mereka sedang mempunyai kesibukan lain dan tidak siap untuk mendengarkan bacaan Al-Quran. Jadi dalam keadaan seperti ini yang salah dan berdosa adalah orang yang memperdengarkan kaset murattal tersebut.
“Apabila dibacakan al-Qur’an, maka dengarkanlah dan diamlah agar kalian mendapat rahmat (Al-A’raf : 204)
Di dalam masalah ini ada sebuah contoh : Misalnya kita sedang melewati sebuah jalan, yang jalan tersebut terdengar suara murattal yang keras yang berasal dari sebuah toko kaset. Begitu kerasnya murattal ini sehingga suaranya memenuhi jalanan.
Apakah dalam keadaan seperti ini kita wajib diam untuk mendengarkan bacaan Al-Quran yang tidak pada tempatnya itu? Jawabannya tentu saja “tidak”. Dan kita tidak bersalah ketika kita tidak mampu untuk menyimaknya.
Yang bersalah dalam hal ini adalah yang memaksa orang lain untuk mendengarkannya dengan cara memutar keras-keras murattal tersebut dengan tujuan untuk menarik perhatian orang-orang yang lewat agar mereka tertarik untuk membeli dagangannya.
Dengan demikian mereka telah mejadikan al-Qur’an ini seperti seruling (nyanyian) sebagaimana telah di-nubuwah-kan (diramalkan) dalam sebuah hadits shahih. Kemudian mereka itu juga menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang rendah sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani, hanya caranya saja yang berbeda.
اشْتَرَوْا بِآيَاتِ اللَّهِ ثَمَنًا قَلِيلًاDari penjelasan diatas ada faidah yang amat penting yang perlu kita perhatikan. Yakni kita diam dan mendengarkan dengan penuh perhatikan ketika dibacakan Al-Quran kepada kita. Khususnya ketika di majlis-majlis ilmu yang kita sering berada di dalamnya.
“Mereka menukar ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit” (At-Taubah : 9)
Hal ini pun menjadi salahsatu parameter sejauh mana perhatian kita terhadap Al-Quran. Jika memang kita ingin menjadi hambaNya yang perhatian kepada Al-Quran maka diamlah ketika Al-Quran dibacakan semampu kita.
————-
Sumber : Kitab Kaifa Yajibu ‘Alaina Annufasirral Qur’anal Karim, edisi Indonesia Tanya Jawab Dalam Memahami Isi Al-Quran, Penulis Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, terbitan Pustaka At-Tauhid, Penerjemah Abu Abdul Aziz, Cetakan April 2002/Shafar 1423H
Irfan Abu Ibrahim
0 komentar