Keinginan kuat ini terlihat jelas sejak Nabi di Makkah. Ketika mendirikan shalat, beliau pasti memosisikan Ka’bah di antara beliau dan Baitul Maqdis. Seolah-olah beliau menghadap dua kiblat sekaligus. Tetapi, setelah hijrah ke Madinah, hal serupa tak mungkin beliau lakukan, meski tidak berarti keinginan itu otomatis padam. Beliau mendongak ke langit berkali-kali, berharap ada wahyu turun tentang kiblat yang bisa menyejukkan hati beliau dan segenap kaum mukmin.
Apalagi, orang Yahudi melontarkan kata-kata menusuk ketika melihat Nabi mengerjakan shalat menghadap kiblat mereka. Betapa takkan pedih hati Nabi dan para sahabat ketika mendengar mereka berkata, “Demi Allah, Muhammad dan sahabat-sahabatnya kebingungan mencari kiblat, sampai akhirnya kamilah yang menunjukkannya.”
Nabi berdoa dengan sepenuh hati, dan tak henti-henti menengadah ke langit, memohon agar dipalingkan dari Baitul Maqdis ke Masjidil Haram. Menyambut doa beliau, Allah menurunkan ayat:
“Sungguh Kami (sering) melihat wajahmu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu inginkan. Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan, di mana saja kamu berada, palingkanlah wajahmu ke arahnya.” (Q.S. al-Baqarah: 144)
Ayat di atas membuat orang Yahudi terpukul. Tak lantas tutup mulut, mereka kini menebarkan masalah lain dan membuat fitnah. Mereka bilang bahwa Nabi bingung, ragu-ragu, dan komentar-komentar miring lain yang justru membuka kedok mereka yang sama sekali tidak disukai Allah.
Referensi:
Abazhar, Nizar. 2010. Ketika Nabi di Kota. Jakarta: Zaman
0 komentar